Kamis, 19 Februari 2015

Kerangkenk - Onslaught of Psychopath (2014)

Jomblo ngenes beraksi di hari Valentine, membunuhi semua pasangan sebisanya. (This is why you should never let a forever alone guy walk around the streets during Valentine's Day; he will kill every couple he sees)
(Bahasa Indonesia)

Akhir-akhir ini, saya mulai melihat tren di kalangan death metal Indonesia berupa band-band yang cenderung memiliki suara old-school, dengan Kerangkenk sebagai band yang paling memukau saya. Sebagai metalhead anak bawang, saya cukup terkejut ketika tahu bahwa mereka sudah ada sejak tahun 1994, walaupun pada tahun 2001 bubar dan berdiri lagi pada tahun 2006. Memikirkan tentang perjalanan Kerangkenk yang sangat jauh, saya berpikir bahwa perjalanan mereka banyak menumpahkan darah, keringat, dan air mata. Saya rasa perjuangan mereka tidak sia-sia sama sekali, karena mereka telah membuktikan bahwa mereka adalah salah satu band death metal tertangguh di Indonesia dengan album debut sekaligus mahakarya mereka sejauh ini, "Onslaught of Psychopath".

Kover album ini digambar oleh Gustav Insuffer (nama asli Gustaman Hendi), yang juga pernah menggarap kover album "Saguru, Saelmu, Tong Ngaganggu" oleh Undergod dan "Suffering of Human Decapitated" oleh Turbidity, dll. Seperti halnya garapannya yang lain, dia menggambarkan sebuah suasana mencekam nan berdarah yang dikemas dengan warna-warna gelap yang menambahkan atmosfer suram. Saya tahu kalimat saya yang ini terdengar agak hiperbolik, namun melihat garapan Gustav Insuffer selalu membuat hidung saya mencium bau anyir darah dan bau busuk seonggok mayat yang dilahap belatung. Kalau menurut saya, dia bagaikan Toshihiro Egawa-nya Indonesia. Oke, sekarang kita akan membahas tentang musiknya.

Produksi dari album ini patut diacungi jempol. Semua instrumennya dapat terdengar secara jelas, selain itu, suara yang dihasilkan terdengar seperti perpaduan antara suara old-school death metal dan death metal modern. Perpaduan ini cukup bombastis dan menarik. Saya harap kebanyakan album death metal zaman sekarang memiliki kualitas produksi yang kurang lebih sama dengan album ini.

Bukan hanya produksinya saja yang hebat, namun musiknya juga terdengar hebat. Chaqim Apoy merupakan drummer dari band ini. Suara drumkit-nya mungkin tidak sekeras suara drumkit dari drummer-drummer death metal lainnya, namun ia tetap memiliki kemampuan drumming yang sangat mumpuni. Permainan drumnya terdiri dari gebukan drum berkecepatan sedang dengan pattern agak rumit, sesekali diiringi dengan blast beat yang terdengar sangat brutal dan old-school yang menjadi pengiring yang brilian. Sebagai contoh, kita dapat mengambil lagu "Onslaught of Psychopath". Saya dapat memastikan Apoy dapat membuat malu bahkan drummer-drummer setingkat Flo Mounier dan Inferno.

Joely Jasta, sang bassist, banyak memainkan riff-riff tebal yang kebanyakan mengikuti permainan gitar, namun juga menambah kesan suram dari album ini. Sesekali, kita juga dapat mendengar riff yang cenderung groovy, seperti di lagu "Darah Itu Merah Jenderal".

Yang paling menarik dari album ini adalah peran Willy Kizl sebagai vokalis sekaligus gitaris band ini. Vokal growl-nya mengandung amarah yang mendalam, bagaikan seorang psikopat. Memang, vokalnya tidak bervariasi, namun performanya tetap hebat. Saya tidak tahu apakah album ini dinamakan "Onslaught of Psychopath" karena vokalnya terdengar seperti berasal dari seorang psikopat, namun saya akui, saya belum pernah mendengar vokal growl yang secara menakjubkan emosional seperti ini. Permainan gitarnya pun juga tak kalah menakjubkan. Willy banyak terpengaruh dari band-band beraliran old-school seperti Suffocation, namun juga menambahkan permainan yang sangat orisinal. Perpaduan ini menghasilkan musik yang cemerlang, dimana kita dapat mendengarkan sebuah band yang memiliki jiwa old-school tanpa harus mengorbankan orisinalitas musikal sama sekali. Riff-riff yang dimainkan Willy cenderung bertempo cepat dengan teknikalitas di atas rata-rata, sebagai presentasi dari old-school death metal, namun sesekali ia juga memainkan riff-riff lambat seperti di "Onslaught of Psychopath". Bahkan, ia juga menyempatkan diri memainkan riff slam di lagu "Venomous Suicide Victim". Tidak banyak band old-school death metal yang menambah variasi musiknya dengan riff slam, jadi ini cukup mengejutkan saya.

Namun, bagian yang paling saya sukai dari album ini adalah solo gitarnya yang cantik dan gila-gilaan pada waktu yang sama. Mereka mengingatkan saya pada band-band death metal asal Florida. Saya terutama suka dengan solo gitar di lagu "Carcass Carcass Carcass". Sekali lagi, saya tahu saya melebih-lebihkan saja, namun solo gitar di album ini terdengar seperti ratapan bidadari yang sedih oleh seluruh kekejaman yang terjadi di muka bumi.

Dengan mahakarya mereka ini, Kerangkenk berhasil mengukir nama mereka dalam sejarah death metal Indonesia sebagai salah satu band old-school yang patut diperhitungkan. Penggemar old-school death metal dari seluruh dunia perlu mengetahui Kerangkenk.

https://id-id.facebook.com/KERANGKENK
http://www.reverbnation.com/kerangkkenk
https://twitter.com/kerangkenk

(English)

It was not until recently where I realized that Indonesia starts spawning several old-school death metal bands, while one such band, Kerangkenk, puts me in interest a lot. As a new kid jumping on the Indonesian metal bandwagon, I was pretty surprised that they have been in existence since 1994, despite splitting-up in 2001 and getting reformed in 2006. As a 2-decade-old band, it's obvious that they have spilled a lot of blood, sweat and tears. And with their debut album (and so far, their masterpiece) "Onslaught of Psychopath", they have proven that they're one of the toughest Indonesian death metal bands and all the blood, sweat and tears they have spilled pay up. Absolutely.

The guy behind the cover art is Gustav Insuffer (real name Gustaman Hendi), who is best described as Indonesian Toshihiro Egawa. As with all his other arts, this one depicts a bloody and inhuman cruelty spiced up with dark colors that add to the unsettling atmosphere of the album. I know I am absolutely being hyperbolic right now, but every time I see a Gustav Insuffer's work (including this one), I am able to smell fresh blood, as well as a rotten, maggots-infested corpse nearby. Okay, we'll stop talking about him now and start talking about the music instead.

The production of the album is already a prestige. Everything can be heard clearly, besides, the sound is somewhere between old-school death metal and modern death metal. The combination is absolutely bombastic and interesting. I wish more modern death metal bands adopted the production quality this album possesses.

Not only is the production great, so is the music. Chaqim Apoy is the drummer of this band. His drumkit may not sound strong enough, but his wicked drumming skills really pay up. His drumming consists of mid-paced rhythms with complex patterns, accompanied with brutal yet old-school blast beats that sound really brilliant, like in the titular song. He would give the likes of Flo Mounier and Inferno a run on their money.

Meanwhile, the bass is played by a guy who goes by a name Joely Jasta. Hi there, Jasta! Is playing in Hatebreed with your brother Jamey boring enough that you finally decided to play in an Indonesian band? But, in all seriousness, he plays thick riffs which, while mostly following the guitars, add to the atmosphere of the music. Occasionally, his play can get groovy too, like in the song "Darah Itu Merah Jenderal".

Best of all are Willy Kizl's guitar work and vocals. His growls contain a profound anger like a psychopath. Sure, he doesn't add variety to his vocals, but the performance is still great. I'm not sure if they gave this album the name "Onslaught of Psychopath" for the fact that Willy growls like a fucking psychopath, but all I know is that his growls are amazing and emotional, unlike most other brutal death metal vocalists I've ever heard before. His guitar work is even more exciting than his growls. Willy is widely influenced by old-school death metal bands such as Suffocation, while also adding some original songwriting. This results in a moment full of excellence, where we can see that an old-school death metal band can still come up with an original songwriting despite the old-school sound they have. Willy usually plays fast-paced riffs with an above average level of technicality, but he also slows down occasionally, with the titular song being an excellent example of this. What surprises me most is when he plays some straight dirty slam riffs in the song "Venomous Suicide Victim". As far as I know, Kerangkenk is the only modern-time old-school death metal band ever to play slam riffs.

However, the guitar solos here are the part I like most. They sound beautiful and wicked at the very same time. They sound like something a Florida death metal band would come up with. I especially like the ones in the song "Carcass Carcass Carcass". I know I am being hyperbolic again, but these solos sound like a wailing of an angel who is saddened by various cruelties happening in our Earth. As a fun fact to show how wickedly great Willy is, I'll have you know one thing; he is left-handed, which is something rarely heard about a guitarist. To prove my sentence, I have a link to a promotional clip of their song "Carcass Carcass Carcass"; http://www.youtube.com/watch?v=9UaKk-y5c8o

This album is a great onslaught, and Kerangkenk has carved their name permanently on Indonesian death metal history as one of the best acts that also happen to be old-school. Old-school death metal fans around the world need to know about them.

https://id-id.facebook.com/KERANGKENK
http://www.reverbnation.com/kerangkkenk
https://twitter.com/kerangkenk

Rabu, 04 Februari 2015

Abyssals - Demo 94 (1994)


(Bahasa Indonesia)
  
Abyssals adalah band death metal dari Bourg-en-Bresse, Rhône-Alpes, Perancis. Mereka berdiri pada tahun 1993, merilis sebuah demo pada Oktober 1994, dan bubar pada waktu yang tidak diketahui persis. Sangat disayangkan bahwa masih tidak banyak orang yang mengetahui tentang Abyssals dan demo semata wayang mereka, karena demonya sendiri cukup bagus.

Kita mulai dengan produksinya. Walaupun ini adalah sebuah kaset demo, namun produksinya terdengar cukup profesional. Kesan old-school nya pun kental sekali, bahkan untuk standar tahun 1994. Ini semua berkat dari bantuan seseorang bernama Didier Boyat. François Dauvergne, sang drummer, bermain cukup memukau di demo ini. Ia memainkan irama-irama cepat yang cukup ngebut, sarat dengan double bass dan memiliki pola yang rumit, sehingga musik yang dihasilkan menjadi terdengar berisi. Terkadang, ia juga memainkan blast beat yang garang nan sadis.

Vokal dan bass di demo ini dimainkan oleh seseorang bernama Eric. Permainan bass-nya hanya mengikuti permainan gitar, namun membuat musiknya terdengar lebih tebal. Vokalnya terdiri dari vokal growl yang serak, tipe vokal yang cukup umum pada old-school death metal. Sekilas, vokal Eric mengingatkan saya pada vokalis bernama Angel yang pernah bermain untuk sebuah band extreme metal asal Brazil, Vulcano.

Gitaris Michel Dumas memainkan gitar lead dan rhythm di sini. Ia memainkan riff-riff tremolo yang terpengaruh dari Morbid Angel era awal dan thrash metal tahun 1980-an. Walaupun tidak terkesan orisinal, namun permainannya cukup gemilang. Ia memainkan bermacam-macam solo yang terkesan sangat old-school, seperti pada lagu "The Hole of Souls". Maklum saja, dia sudah memainkan musik metal sejak tahun 1987.

Walaupun Abyssals tidak memiliki kesan orisinalitas sama sekali, mereka bermain dengan cukup apik. Mungkin mereka bubar karena death metal menuntut band-band lain yang jauh lebih orisinal.

(English)

Abyssals was a death metal band from Bourg-en-Bresse, Rhône-Alpes, France. They formed in 1993, released a demo in October 1994, and split-up sometime later. It's a shame a lot of people still don't know Abyssals and their only demo, because the demo itself is actually pretty good.

First, let's start with the production. Although this is a demo, the production sounds professional, with a thick old-school feeling, even by a 1994 standard. This is thanks to a guy called Didier Boyat. Drummer François Dauvergne plays lots of fast-paced rhythms with a great amount of double bass and complex pattern, resulting in the music having an even more intricate sound. Sometimes, he also throws savage blast beats that will perforate your skull.

Both the vocals and the bass are played by a guy called Eric. His bass mostly follows the guitars, but it makes the music pretty bold. His vocals consist of a hoarse growl, which is typical among old-school death metal bands. His vocals also remember me of Angel, the former vocalists of Brazilian extreme metal band Vulcano.

Michael Dumas performs both the lead and rhythm guitars. He plays a lot of tremolo riffs that are influenced by bands like Morbid Angel, as well as the 80's thrash metal. Although they're sorta unoriginal, they still sound pretty nice. He also plays a lot of guitar solos that scream old-school, like in the song "The Hole of Souls". No surprise, given that he has been playing metal since 1987.

Despite the fact that Abyssals did not come up with something original, this demo is still a good listening. Maybe they split-up because the death metal scene demanded more original bands.

Homeland Opera - Jiwa Yang Hilang (2014)

Semoga gue gak tersesat di situ... (Wish I don't get lost there...)

(Bahasa Indonesia)

Dari sekian banyaknya band beraliran metal di Indonesia, saya menyadari bahwa dua dari beberapa sub-genre yang masih jarang diperhatikan adalah groove metal dan sludge metal. Beruntunglah ada satu band yang memperhatikan kedua genre tersebut dan memainkan percampuran antara kedua genre tersebut. Band tersebut adalah Homeland Opera dari Bandung. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Bandung telah memproduksi banyak band beraliran musik keras yang cenderung bagus, namun akankah album EP mereka yang berjudul "Jiwa Yang Hilang" ini mampu untuk menarik perhatian? Hanya ada satu jawaban pasti.

Produksi dari EP ini terkesan sedikit tidak konsisten. Pada satu lagu, bass-nya terdengar dengan sangat jelas dan vokalnya memiliki efek menggema. Pada lagu lain, bass-nya hampir tidak terdengar sama sekali dan drum-nya terdengar kurang keras. Apakah band ini harus merekam EP mereka di berbagai studio yang berbeda sehingga performanya pun juga terdengar berbeda? Peduli amat, setidaknya masalah tersebut tidaklah terlalu serius sehingga merusak musikalitas band ini.

Ada dua gitaris dalam band ini; Ubiega dan Zetho. Saya masih belum tahu siapa yang memainkan gitar lead dan gitar rhythm, namun yang jelas adalah permainan mereka tidak mengecewakan sama sekali. Mereka berdua memadukan riff-riff groovy dengan tempo sedang-lambat yang terdengar seolah-olah berasal dari sebuah rawa penuh lumpur. Memang, riff-riff tersebut tidaklah terlalu inovatif, namun setidaknya permainan gitar mereka berdua cukup memukau. Dipadu dengan gitar lead yang terdengar seperti gergaji mesin, aura suram dari musik yang diciptakan menjadi semakin kental. Gitar rhythm memainkan berbagai melodi melankolis namun minimalis. Melodi-melodi ini terdengar seperti ratapan seseorang yang putus asa, tidak tahu apa yang harus dilakukan olehnya. Sekali lagi, bukan hal yang baru, saya sudah sering mendengarkannya dari berbagai band gothic metal dan melodic death metal, namun melodi-melodi tersebut adalah sentuhan bagus untuk musik yang mereka ciptakan.

Rick, sang bassist, memainkan berbagai macam bassline yang menambah kepadatan musik yang dimainkan. Tidak banyak yang bisa dikatakan soal bass-nya, namun paling tidak permainannya cukup bagus.

Sementara itu, sang drummer Ryu memainkan irama-irama berkecepatan sedang yang bisa dibilang merupakan percampuran dari drumming a la groove metal dan sludge metal. Sesekali, ia juga memainkan hentakan-hentakan lambat yang suram. Snare drum-nya memiliki karakter suara yang kuat dan tidak terdengar seperti tong sampah. Saya membayangkan bahwa Ryu memiliki drumset yang cukup memadai.

Macan (nama yang aneh, tapi suka-suka dia lah....) adalah vokalis dari band ini. Vokal Macan terdiri dari geraman pelan yang merupakan percampuran dari vokal groove metal, sludge metal dan NYHC. Vokal yang cenderung minimalis ini mengandung aura pesimistis, seakan-akan tidak ada gairah hidup yang dimilikinya sama sekali, namun saya rasa akan lebih baik lagi jika ia menambah variasi vokalnya. Sekali lagi, sudah bukan rahasia lagi bahwa band-band beraliran sludge metal cenderung memiliki aura negatif yang membuatnya "susah didengar".

"Jiwa Yang Hilang" mungkin tidak terlalu inovatif, setidaknya bagi yang sudah sering mendengarkan band-band lain beraliran groove/sludge metal, namun cukup menjanjikan. Saya harap dengan EP ini, Indonesia akan membangun skena groove dan sludge metal yang tidak kalah bagus dengan skena brutal death metal yang ada.

http://homelandopera.bandcamp.com/album/jiwa-yang-hilang-ep

(English)

Of all metal sub-genres played in Indonesia, I notice that groove and sludge metal are two of the overlooked ones. Fortunately enough, there is one band which pays attention to those two genres and play a mixture of them. They are Homeland Opera from Bandung. Bandung is well-known for producing many nice heavy music bands, but will their first EP "Jiwa Yang Hilang" be good enough? There is only one answer for it.

The production feels a little bit inconsistent. One song has a prominent bass and echoing vocal effects. Other song has the bass nearly inaudible and the drums a bit silent. Did the band have to record their EP at different studios that their performance sounded difference at each track? Who cares, at least it is not a serious problem that affects the band's musicality.

The band has two guitarists; Ubiega and Zetho. I don't know who is playing the lead and rhythm guitars, but the guitar work isn't disappointing at all. They both combine groovy riffs of groove metal with the medium-slow tempo of sludge metal which sound like they were recorded at a muddy swamp. Sure, those riffs aren't innovative, but their performance is still pretty exciting. The lead guitar sounds like a buzzsaw, which thickens the bleak atmosphere of the music. The rhythm guitar plays melancholic yet minimalistic melodies which sound like a wailing of a desperate man, not knowing what to do. Once again, nothing really new, as I've heard them performed by various melodic death and gothic metal bands, but those melodies are a good touch to the music.

Rick, the bassist, plays lots of basslines which serve as the backbone of the music. Not much can be said regarding his performance, but obviously enough, he is pretty good.

Meanwhile, the drummer Ryu plays mid-paced rhythms which can be described as a mixture between groove and sludge metal drumming. Sometimes, he also plays slow beats that sound sorrowful. The snare has a strong sound and does not possess that hollow thudding, which is the common problem among Indonesian metal bands. I like to think that Ryu has an awesome expensive drumset, which explains why the snare has no hollow thudding sound.

Macan (what a strange name, but that's up to him....) is the vocalist of the band. His vocals consist of a slow, minimalistic shout that is typically heard in groove metal, sludge metal and NYHC. It possesses a pessimistic feeling, as if he was so desperate of this life. Again, nothing fancy, as it is a typical character of sludge metal, which makes people consider it "hard to listen".

"Jiwa Yang Hilang" may not offer something innovative at all, at least to those who are used to listening to groove/sludge metal, but it is a promising EP. I hope, Indonesia will further build a solid sludge and groove metal scene.

http://homelandopera.bandcamp.com/album/jiwa-yang-hilang-ep

Minggu, 01 Februari 2015

Mayat - Timoer Democracy (2006)

Gue mau dikubur di situ kalau gue mati :P (I wanna be buried there if I die :P )
(Bahasa Indonesia)

Mayat adalah sebuah band brutal death metal dari Jakarta Timur. Mereka sudah ada sejak tahun 1994 dan telah merilis dua album full-length dan satu album split. Saya tidak bisa menemukan album full-length pertama mereka yang bertajuk "Aborsi" dan album split mereka yang bertajuk "Total Flagellum Blast", jadi saya hanya akan mengulas album full-length kedua mereka yang bertajuk "Timoer Democracy" dan dirilis oleh Recluse Production, sebuah label asal Singapura.

Kita mulai dengan produksi rekaman album ini. Produksinya cukup apik dan profesional, semua instrumen yang dimainkan dapat terdengar dengan jelas, namun bukan berarti produksinya terdengar terlalu "clean". Justru, produksinya memberi kesan old-school, seakan-akan album ini direkam pada pertengahan tahun 1990-an. Produksinya seolah-olah mengajak pendengar masuk ke sebuah rumah tua dengan galeri besar yang menggambarkan berbagai kejadian mengerikan yang terjadi di rumah tua tersebut. Musik yang dihasilkan juga mengagumkan dan brutal. Sang drummer, Andri Bagol, memainkan irama-irama yang cepat, menaikkan adrenalin, dan cenderung mirip blast beat dengan pola yang sederhana namun berkekuatan penuh, diiringi dengan double bass yang menambah kepadatan musik yang dimainkan oleh Mayat, seperti pada track "Saling Membunuh". Memang, suara snare-nya terdengar sedikit mirip tong sampah, namun setidaknya tidak separah beberapa band lain. Permainan drum Bagol terdengar seperti rentetan tembakan senapan yang memuntahkan peluru-peluru tajam yang menembus tubuh. Namun menurut saya, akan lebih bagus lagi jika Bagol sesekali memperlambat permainan drum-nya. Meskipun demikian, rasanya belum pernah saya mendengar permainan drum se-sadis ini. Bagol mempelajari keterampilan beberapa drummer death metal seperti Chad Walls dari Brodequin dan mengimprovisasinya lebih lanjut dengan intensitas dan kerumitan tingkat tinggi dengan tetap menjaga sikap kompeten sebagai seorang drummer.

Joy Junior, atau pendeknya J'R, adalah vokalis sekaligus bassist dari band ini. Vokal growl-nya sangat dalam, ganas, dan penuh amarah. Liriknya pun bukan lirik sembarangan. J'R menceritakan kebobrokan moral, kekejaman perang dan kebusukan politik. Selain itu, permainan bass J'R terdengar sangat jelas dan tidak kalah dominan dengan instrumen lainnya. Nada yang dimainkannya menambahkan atmosfer mencekam dari musik yang dihasilkan. Bukan hanya itu, permainan bass J'R terkadang bisa menjadi sedikit melodis untuk menambah variasi. Sekarang ini, banyak band brutal death metal yang cenderung tidak mempedulikan permainan gitar bass. Saya berharap, mereka bisa belajar dari Mayat untuk selalu memberi perhatian pada permainan bass.

Permainan gitar Tomy Garcia terinspirasi oleh band-band seperti Brodequin, Terrorizer dan Bloody Gore. Riff-riff yang dimainkannya cepat, intens, dan tidak memberi ampun, tidak ubahnya death metal pada era 90-an. Sesekali, dia juga memainkan riff-riff tidak lazim seperti di track "Kekalahan Dunia Langit" dan "Morale Disgrace", namun riff tersebut tetap bersatu dengan musiknya dengan kompak, sehingga tidak terdengar terlalu aneh. Omong-omong, riff tersebut terdengar seperti Grausig, salah satu band favorit saya. Apakah Tomy juga terinspirasi oleh Grausig? Entahlah, yang penting adalah permainan gitar Tomy sangat apik. Album ini adalah salah satu dari sekian album brutal death metal  yang cukup bagus yang dirilis sebelum Siksakubur merilis album "Tentara Merah Darah" pada tahun 2010.

Pada 17 Juni 2012, gitaris Tomy Garcia menghembuskan nafas terakhirnya. Saya masih tidak tahu apa penyebab kematiannya, namun apapun penyebabnya, saya turut berduka cita. Jasamu dalam skena brutal death metal Indonesia tidak akan pernah dilupakan, Tomy.

(English)

Mayat is a brutal death metal band band from the East Jakarta. They have been around since 1994 and have released two full-length albums and one split album. I cannot find both their debut full-length "Aborsi" and split album "Total Flagellum Blast", so I will review their second full-length, titled "Timoer Democracy" and released by Recluse Production, a Singaporean label.

The production is pretty decent and professional, all the instruments are audible, but it does not possess a sterile clean sound. In fact, the production sounds rather old-school, as if the album was recorded in the 1990's. It feels as if you were inside an old, abandoned house with a gallery which depicts lots of inhuman acts that ever happened there. The music is amusing and brutal as well. The drummer, Andri Bagol, plays fast-paced, adrenaline-inducing rhythms that resemble blast beats with simple patterns yet powerful execution, accompanied with double bass, which adds to the density of the music. The best example of his drumming is the track "Saling Membunuh". Sure, the snare has that thudding sound, but it's not as bad as many other bands. Bagol's drumming sounds like a bunch of long, rapid shots which spew forth sharp bullets, but it would have been a little bit better if Bagol occasionally slowed down his drumming. That being said, I think Bagol is the most savage brutal death metal drummer ever in existence. He takes the skills of drummers like Chad Walls of Brodequin and improves them with a high level of intensity and complexity, while still retaining the competency of a drummer.

Joy Junior, or J'R for short, is the vocalist and bassist of the band. His growls are deep, vicious, and furious. Not only that, he also sings about moral breakdown, cruelties of war, and how putrid politics are. These lyrical themes are the icing on the cake. His bass is also pretty prominent. It adds to the eerie atmosphere of the music. Sometimes, J'R's performance hints a few melodies which add to the variety. Nowadays, many brutal death metal bands overlook bass guitar performance. I hope they learn from Mayat when it comes to bass performance.

A guy called Tomy Garcia plays the guitars here. He is influenced by bands like Brodequin, Terrorizer, and Bloody Gore. He plays fast, intense and merciless riffs that sound like they came straight from the 1990's. Occasionally, Tomy also plays unusual riffs like in the songs "Kekalahan Dunia Langit" and "Morale Disgrace", which add well to the music. Speaking of which, they remember me of an old Indonesian death metal Grausig. Has Grausig influenced Tomy in the guitar work? I don't know, but obviously, Tomy's guitar work is just epic. Timoer Democracy is one of the best Indonesian brutal death metal albums ever released in the 2000's, before Siksakubur released their awesome "Tentara Merah Darah" in 2010.

On June 17th 2012, guitarist Tomy Garcia died. I have yet to know the cause of his death, but whatever the cause is, I would like to say rest in peace. Tomy's contribution to the Indonesian brutal death metal scene sure is overlooked, but it lives forever in my heart.